TINJAUAN TEORITIS
A.
KONSEP DASAR
Fraktur
adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya. ( Suzanne C.
Smeltzer dan Brenda G. Bare, 2002 : hal. 2357 ).
Fraktur
adalah patah tulang yang biasanya disebabkan oleh trauma dan tenaga fisik.( Sylvia A Price,
Loraine M. Wilson, 2006 : hal 1365 ).
Fraktur
adalah hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan sendi, tulang rawan epifis,
baik yang bersifat total maupun yang parsial. (Chairuddin Rasjad, 1998 : hal.
388 ).
Fraktur
adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan yang
umumnya disebabkan oleh rudapaksa. ( Wim de Jong, 2005 : hal 840).
Fraktur
adalah terputusnya keutuhan tulang, umumnya akibat trauma ( dr. Jan Tambayong,
2002 : hal. 124 ).
Fraktur
adalah suatu patahan pada kontinuitas struktur tulang. ( A. Graham Apley dan Louis Solomon,
1995 : hal. 238 )
Fraktur adalah
pemisahan atau patahnya tulang. ( Marilynn E. Doengoes, 2000 : hal 761).
Berdasarkan pengertian di atas dapat
disimpulkan bahwa fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, tulang rawan
sendi, tulang rawan epifisis baik yang bersifat total maupun parsial yang
biasanya disebabkan oleh trauma dan tenaga fisik.
Fraktur tibia fibula adalah
terputusnya kontinuitas pada tulang tibia fibula yang terjadi akibat pukulan
langsung, jatuh dalam posisi flexi atau gerakan memuntir yang keras. ( Suzanne
C. Smeltzer dan Brenda G. Bare, 2002 : hal. 2357 ).
B.
KLASIFIKASI FRAKTUR ( Chairuddin Rasjad, 1998 : hal. 389.)
- Klasifikasi fraktur menurut etiologinya
dapat dibagi menjadi 3 yaitu :
a.
Fraktur traumatik.
Terjadi karena trauma yang tiba-tiba.
b.
Fraktur patologis.
Terjadi karena kelemahan tulang
sebelumnya akibat kelainan patologis di dalam tulang.
c.
Fraktur stress.
Terjadi karena adanya trauma yang
terus menerus pada suatu tempat tertentu.
- Klasifikasi klinis dari fraktur dapat
dibagi menjadi 3 yaitu :
a.
Fraktur Terbuka (Compound Fraktur).
Fraktur terbuka adalah fraktur yang
mempunyai hubungan dengan dunia luar melalui luka pada kulit dan jaringan
lunak, dapat berbentuk from within (dari dalam) atau from without (dari luar).
Pada fraktur terbuka dikenal
beberapa grande :
1)
Grade I.
a)
Kerusakan jaringan sedikit.
b)
Lebar luka < 4 cm.
c)
Luka biasanya kecil.
d) Luka tusuk yang kecil.
e)
Luka tusuk yang bersih.
f)
Tanpa penghancuran.
2)
Grande II..
a)
Kerusakan jaringan sedang.
b)
Merabah kulit dan otot.
c)
Lebar luka > 4 cm.
d) Potensial infeksi besar.
3)
Grande III.
a)
Lebar luka 6-8 cm.
b)
Terdapat kehancuran otot.
c)
Kerusakan kulit dan struktur neurovaskuler.
b.
Fraktur Tertutup ( Simple Fracture ).
Fraktur tertutup adalah suatu fraktur yang tidak
mempunyai hubungan dengan dunia luar.
Fraktur dengan komplikasi ( Complicated Fracture )
c.
Fraktur dengan komplikasi adalah fraktur yang disertai dengan komplikasi.
2.
Berdasarkan radiologisnya dapat dibagi menjadi 4 yaitu :
a.
Berdasarkan lokalisasinya dapat dibagi menjadi 4 yaitu :
1)
Fraktur diafisial merupakan fraktur yang terjadi pada
diafisis tulang.
2)
Fraktur metafisial merupakan fraktur yang terjadi pada metafisis tulang.
3)
Fraktur intra artikuler merupakan fraktur yang terjadi pada area epifisis (
tulang rawan epifisis ).
4)
Fraktur dengan dislokasi merupakan kehilangan hubungan yang normal antara
kedua permukaan sendi disertai fraktur tulang persendian tersebut.
b.
Berdasarkan konfigurasinya dapat dibagi menjadi 12 diantaranya yaitu :
1)
Fraktur Transversal.
Fraktur transversal adalah fraktur
yang garis patahnya tegak lurus terhadap sumbu panjang tulang.
2)
Fraktur Oblik.
Fraktur oblik adalah fraktur yang
garis patahnya membentuk sudut terhadap tulang. Fraktur ini dapat disebabkan
oleh trauma angulasi dan sulit diperbaiki.
3)
Fraktur Spiral.
Fraktur spiral adalah fraktur yang
memutar dimana timbul akibat torsi pada ekstrimitas. Fraktur ini hanya sedikit
menimbulkan kerusakan jaringan lunak dan cepat sembuh dengan imobilisasi luar.
4)
Fraktur Z ( Kupu – kupu ).
Fraktur Z adalah fraktur yang
membentuk sudut ( huruf Z ) pada tulang.
5)
Fraktur Segmental.
Fraktur segmental adalah dua fraktur
berdekatan pada satu tulang yang menyebabkan terpisahnya segmen sentral dari
suplai darahnya.
6)
Fraktur Komunitif.
Fraktur komunitif adalah serpihan – serpihan atau
terputusnya keutuhan jaringan tempat adanya lebih dari dua fragmen tulang.
7)
Fraktur Baji ( Kompresi ).
Fraktur baji merupakan fraktur yang
biasanya terjadi pada vertebra karena trauma kompresi.
8)
Fraktur Avulsi.
Fraktur avulsi adalah fraktur yang
memisahkan suatu fragmen tulang pada tempat insersi tendon ataupun ligamen.
Yang terjadi karena trauma tarikan otot pada tulang sehingga ligamen terlepas
dari tulang.
9)
Fraktur Depresi.
Fraktur depresi adalah fraktur
karena trauma langsung misalnya pada tulang tengkorak.
10) Fraktur Pecah ( Burst ).
Fraktur pecah adalah fraktur yang
terjadi pada fragmen kecil yang terpisah misalnya pada fraktur vertebra,
patela, talus, kalkaneus.
11) Fraktur Impaksi.
Fraktur impaksi adalah fraktur dimana
fragmen tulang terdorong ke fragme tulang lainnya.
12) Fraktur Epifis.
Fraktur epfisis adalah fraktur
yang melalui epifis.
c.
Menurut Ekstensi.
1)
Fraktur total ( complete ) adalah patah pada seluruh garis tengah tulang
dan biasanya mengalami pergeseran.
2)
Fraktur tidak total ( incomplete ) adalah patah hanya terjadi pada sebagian
dari garis tengah tulang.
3)
Fraktur multiple adalah fraktur dengan garis patah lebih dari satu tetapi
dengan tulang berlainan tempat.
4)
Fraktur buckle atau torus.
5)
Fraktur garis lembut.
6)
Fraktur greenstick adalah fraktur dimana salah satu sisi tulang patah
sedang sisi lainnya membengkok.
d.
Menurut Hubungan antara Fragmen dengan Fragmen lainnya.
1)
Fraktur Bergeser (Displaced).
Fraktur bergeser adalah fraktur yang
menyebabkan perubahan letak.
Bergeser dapat terjadi dalam 6 cara :
a)
Bersampingan.
b)
Angulasi.
c)
Rotasi.
d) Distraksi.
e)
Over-riding.
f)
Impaksi.
2)
Fraktur Tidak Bergeser (Indisplaced).
Fraktur indisplaced adalah garis patah yang terjadi
komplit tetapi ke fragmen tulang tidak bergeser dan utuh pada periosteumnya.
C. ETIOLOGI ( Chairuddin
Rasjad, 1998 : hal. 389 )
Etiologi dari fraktur dapat disebabkan
oleh beban yang melampaui kekuatan maksimal tulang, seperti :
a.
Trauma.
Trauma adalah fraktur yang
disebabkan oleh sesuatu kekuatan atau ruda paksa dan terbagi menjadi 2 bagian
yaitu :
1)
Trauma Langsung.
Menyebabkan tekanan langsung pada
tulang dan mengakibatkan fraktur seperti
: benturan atau pukulan yang mengenai jaringan lunak yang sangat luas dan
menyebabkan fraktur.
2)
Trauma Tidak Langsung.
Apabila trauma dihantarkan ke daerah
yang lebih jauh dari daerah fraktur, misalnya jatuh dengan tangan ekstensi
dapat menyebabkan fraktur pada klavikula. Pada keadaan ini biasanya jaringan
lunak tetap utuh.
b.
Patologi
Fraktur yang disebabkan karena
patologis adalah fraktur yang terjadi pada daerah tulang akibat proses penyakit.
c.
Stress Fatique ( kelelahan akibat tekanan berulang ).
Terjadi karena adanya stress yang
kecil dan berulang-ulang pada daerah tulang yang menopang berat badan.
D. PATOFISIOLOGI
- Proses Perjalanan penyakit. ( Ns. Arif Muttaqin, S.Kep.
2008. Hal : 78 )
Fraktur biasanya terjadi akibat
trauma baik langsung ataupun tidak langsung dan dapat menyebabkan terputusnya kontinuitas tulang akibat pukulan, gaya remuk, memutar dan kontraksi
otot. Akibat trauma dapat menyebabkan patah tulang yang akan mempengaruhi
jaringan di sekitarnya ( neurovaskuler, otot, tendon ). Luka fraktur juga dapat
bersifat terbuka ataupun tertutup. Pada luka fraktur terbuka selain akan
menyebabkan port de entry dari mikroorganisme yang jika tidak ditangani akan
menyebabkan terjadinya sepsis, dan juga dapat menyebabkan syok akibat
perdarahan ( kerusakan arteri ) sehingga menurunkan perfusi ke seluruh organ
kemudian akan menimbulkan ulkus, atrofi otot yang lambat laun akan mengalami
kematian. Terjadinya kerusakan saraf akibat fraktur dapat menimbulkan sensasi
nyeri yang hebat, sedangkan apabila terputusnya serabut saraf akan
menimbulkan sensasi nyeri hilang. Pada luka fraktur
tertutup akan mengakibatkan infeksi, emboli berupa lemak serta terbentuknya
trombus yang akan menyebabkan terjadinya kompartemen syndrom yang akan mengarah
pada perfusi baik pada area fraktur ataupun seluruh organ.
- Manifestasi Klinik menurut Suzanne C. Smeltzer dan Brenda G. Bare,
2002 : hal. 2358. diantaranya :
a.
Nyeri, yang terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang di
imobilisasi spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah
yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
b.
Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai menyebabkan deformitas
(terlihat ataupun teraba) ekstermitas yang bisa diketahui dengan membandingkan
dengan ekstremitas normal.
c.
Pada fraktur panjang terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat di atas dan di bawah tempat fraktur. Fragmen sering sekali
melingkupi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5 cm (1 sampai 2 inci).
d.
Saat ekstrimitas di paksa dengan tangan teraba adanya derik tulang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen yang satu dengan
yang lainnya (uji krepitus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan yang lebih
berat).
e.
Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat
trauma dan pendarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini biasanya baru terjadi
setelah beberapa jam atau hari setelah cedera.
- Proses penyembuhan tulang
menurut Suzanne C. Smeltzer dan Brenda G. Bare, 2002 : hal. 2266 .
a.
Inflamasi
Dengan adanya patah tulang, tubuh
mengalami respons yang sama dengan bila ada cedera di lain tempat dalam tubuh.
Terjadi perubahan dalam jaringan yang cedera dan terjadi pembentukan hermatoma
pada tempat patah tulang. Ujung fragmen tulang mengalami devitalisasi karena
terputusnya pasokan darah. Tempat cedera kemungkinan akan diinvasi oleh
makrofag (sel darah putih besar) yang akan membersihkan daerah tersebut.
b.
Proliferasi Sel
Dalam sekitar 5 hari, hermatoma akan
mengalami organisasi. Terbentuk benang-benang fibrin dalam jendalan darah,
membentuk jaringan untuk revaskularasi dan inovasi fibroblast dan osteoblast.
c.
Pembentukan Kalus
Pertumbuhan jaringan berlanjut dan
lingkaran tulang rawan tumbuh mencapai sisi lain sampai celah sudah
terhubungkan fragmen. Patahan tulang digabungkan dengan jaringan fibrus tulang
rawan dan tulang serat imatur. Bentuk kalus dan volume yang dibutuhkan untuk
menghubungkan defek secara langsung berhubungan dengan jumlah kerusakan dan
pergeseran tulang. Perlu waktu 3 sampai 4 minggu agar fragmen tulang tergabung
dalam tulang rawan atau jaringan fibrus.
d.
Osifikasi
Pembentukan kalus mulai mengalami
penulangan dalam 2 sampai 3 minggu patah tulang melalui proses penulangan
endokondral, mineral terus menerus ditimbun sampai tulang benar – benar bersatu
dengan keras.
e.
Remodeling
Remodeling merupakan tahap akhir
perbaikan patah tulang meliputi pengambilan jaringan mati dan reorganisasi
tulang baru ke susunan struktural sebelumnya. Remodeling memerlukan waktu
berbulan – bulan sampai bertahun – tahun tergantung beratnya modifikasi tulang
yang dibutuhkan.
- Komplikasi
a.
Komplikasi awal menurut Suzanne C. Smeltzer dan Brenda G. Bare, 2002 :
hal. 2365. Diantaranya
:
1)
Syok, dapat terjadi beberapa jam setelah trauma, terjadi hipovolemik syok
karena pendarahan.
2)
Emboli lemak, terjadi 48 jam petama globila lemak dari tulang dilepaskan
saat fraktur kemudian berkombinasi dengan platelet membentuk emboli, tanda;
hipoksia, takipnea, takikardi, pucat, petekie pada pipi, kantung konjungtiva.
3)
Sindrom kompartemen, perfusi jaringan pada otot kurang karena adanya
pembengkakan, pendarahan atau balutan yang terlalu keras, bila sirkulasi tidak
kembali, terjadi iskemia, hipoksia jaringan, sehingga dapat terjadi kerusakan
saraf permanen, atropi dan kontraktur, tanda; nyeri, bengkak.
4)
Infeksi ( sepsis )
5)
Koagulopati intravaskuler diseminata ( KID )
b.
Komplikasi lambat menurut Suzanne C. Smeltzer dan Brenda G. Bare, 2002 :
hal. 2357. Diantaranya :
1)
Delayed union adalah fraktur yang tidak sembuh
setelah selang waktu tiga sampai lima bulan (tiga bulan untuk anggota gerak
atas, lima bulan untuk anggota gerak bawah).
2)
Non union apabila fraktur tidak
menyembuh antara 6-8 bulan.
Nekrosis vaskuler tulang, terjadi bila tulang kehilangan
asupan darah dan mati.
3)
Mal union adalah keadaan dimana fraktur sembuh pada saatnya, tetapi
terdapat deformitas yang berbentuk angulasi, rotasi, kependekan atau union
secara menyilang misalnya pada fraktur radius dan ulna.
4)
Reaksi terhadap alat fiksasi interna, alat fiksasi interna
biasanya diambil setelah penyatuan tulang telah terjadi.
E. PENATALAKSANAAN MEDIS
1.
Terapi
Prinsip Empat R menurut Ns. Arif Muttaqin, S.Kep, 2008 :
81. Diantaranya :
a.
Recognition
Prinsip pertama adalah mengetahui
dan menilai keadaan fraktur dengan anamneses, pemeriksaan klinis dan
radiologis, pada awal pengobatan perlu diperhatikan : lokalisasi fraktur,
bentuk fraktur, menentukan teknik yang sesuai untuk pengobatan komplikasi yang
mungkin terjadi selama sesudah pengobatan.
b.
Reduction
Reduksi fraktur apabila perlu :
restorasi fragmen fraktur sehingga didapati posisi yang dapat diterima, pada
fraktur intra artikuler diperlukan reduksi anatomis dan sedapat mungkin
mengembalikan fungsi normal dan mencegah komplikasi seperti kekakuan serta
perubahan osteoarthritis dikemudian hari.
Posisi yang baik adalah : aligamen yang sempurna.
Reduction terdiri dari :
1)
Reduction Tertutup
Tindakan pengembalian fragmen tanpa
pembedahan. Pengobatan pada fraktur yang tidak bergeser ditujukan untuk
mengurangi nyeri dengan memasang perban elastis atau pemasangan gips sirkuler
selama tiga sampai empat minggu.
2)
Reduction Terbuka
Tindakan pengembalian fragmen tulang
dengan cara pembedahan / Open Reduction Internal Fictation, seperti pemasangan
pen, skrup k-wire, nail, plate.
c.
Retention : Imobilisasi Fraktur
Fragmen tulang harus di imobilisasi
atau dipertahankan dalam posisi atau kesejajaran sampai terjadi penyatuan.
Teknik yang umum digunakan adalah pemasangan gips dan traksi.
Jenis-jenis traksi menurut Chairuddin
Rasjad, 1998 : hal. 91. Dibagi menjadi 2 yaitu :
1)
Traksi Kulit mempergunakan gips lebar yang direkatkan pada kulit dan
diperkuat dengan perban elastis. Berat maksimum yang dapat diberikan adalah 5
kg yang merupakan batas toleransi kulit. Jenis – jenis traksi kulit yaitu :
a)
Traksi Kulit Buck : Traksi kulit dimanan plaster melekat secara sederhana
dengan memakai katrol.
b)
Traksi Kulit Bryant atau Gallow : Dipergunakan pada fraktur femur anak –
anak di bawah umur 2 tahun.
c)
Traksi Dunllop : Dipergunakan pada fraktur suprakondiler humeri pada anak –
anak, juga dipergunakan pada ekstremitas atas
d) Traksi russel : Dipergunakan
pada anak – anak > 2 tahun, juga dapat digunakan pada fraktur plato tibia,
menyokong lutut yang fleksi pada penggantung dan memberikan gaya tarikan
horizontal melalui pita traksi dan balutan elastis ke tungkai bawah.
2)
Traksi tulang, biasanya menggunakan kawat Kirschner ( K – Wire ) atau
batang dari Steinmann pada lokasi – lokasi tertentu ( proksimal tibia, kondilus
femur, olekranon tengkorak, trokanter mayor bagian distal metakarpal )
Jenis-jenis gips menurut Suzanne C.
Smeltzer dan Brenda G. Bare, 2002 : hal. 2282. Diantaranya :
1)
Gips Lengan Pendek
Memanjang dari bawah siku sampai lipatan telapak tangan,
melingkar erat didasar ibu jari. Bila ibu jari dimasukkan, dinamakan spika ibu
jari atau gips gauntlet.
2)
Gips Lengan Panjang
Memanjang dari setinggi lipat ketiak sampai di sebelah
proksimal lipatan tangan.
3)
Gips Tungkai Pendek
Memanjang dari bawah lutut sampai dasar ibu jari kaki.
4)
Gips Tungkai Panjang
Memanjang dari perbatasan sepertiga atas dan tengah paha
sampai dasar jari kaki.
5)
Gips Berjalan
Gips tungkai panjang atau pendek yang dibuat lebih kuat.
6)
Gips Tubuh
Melingkar di batang tubuh.
7)
Gips Spika
Melibatkan sebagian batang tubuh dan satu atau dua
ekstrimitas.
8)
Gips Spika Bahu
Jaket tubuh yang melingkari batang tubuh dan bahu dari
siku.
9)
Gips Spika Pinggul
Melingkari batang tubuh dan satu ekstrimitas bawah.
d.
Rehabilitation
Tujuannya mengembalikan aktifitas
fungsional semaksimal mungkin. Rencana rehabilitasi harus segera dimulai dan
dilaksanakan bersamaan dengan pengobatan fraktur.
F.
ASUHAN KEPERAWATAN
1.
PENGKAJIAN KEPERAWATAN
Adapun pengkajian pada klien dengan
fraktur, berdasarkan Marlynn E. Doengoes, et al. ( 2000 ). adalah sebagai
berikut :
a.
Aktivitas/istirahat
Tanda : keterbatasan/kehilangan
fungsi pada bagian yang terkena (mungkin segera, fraktur itu sendiri/terjadi
secara sekunder dari pembengkakan jaringan nyeri).
b.
Sirkulasi
Tanda : hipertensi
(kadang-kadang terlihat sebagai respon terhadap nyeri/ansietas) atau hipotensi
(kehilangan darah), tahikardi (respon stress hipovalemia). Penurunan/tidak ada
nadi pada bagian distal yang cidera pengisian kapiler lambat, pucat pada bagian
yang terkena, pembengkakan jaringan/massa hematoma pada sisi cidera.
c.
Neuro sensori
Gejala : hilang
gerakan/sensori, spasme otot, kebas atau kesemutan (parestesis)
Tanda : deformitas
lokal; angulasi, abnormal, pemendekan rotasi krepitasi(bunyi berderik), spasme
otot terlihat kelemahan/hilang fungsi agitasi (mungkin berhubungan dengan
nyeri/ansietas atau trauma lain).
d.
Nyeri atau Kenyamanan
Gejala : nyeri
berat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin terlokalisasi pada area
jaringan/kerusakan tulang dapat berkurang pada imobilisasi); tidak ada nyeri akibat
kerusakan saraf, spasme / kram otot (setelah immobilisasi).
e.
Keamanan
Tanda : lagerasi
kulit, avulsi, jaringan, pendarahan, perubahan warna, pembengkakan lokal.
f.
Penyuluhan atau Pembelajaran
Gejala : lingkungan
cedera.
Pertimbangan rencana
penyuluhan ; menunjukkan rata-rata lama dirawat : femur 7-8 hari,
panggul/pelvis 6-7 hari. Lainnya 4 hari bila memerlukan perawatan di Rumah
Sakit.
g.
Pemeriksaan Fisik menurut Chairuddin Rasjad, 1998. hal : 394.
Pada
pemeriksaan awal penderita, perlu diperhatikan adanya :
1)
Syok, anemia atau pendarahan
2)
Kerusakan pada organ-organ lain, misalnya otot, sumsum tulang belakang atau
organ-organ dalam rongga thoraks, panggul dan abdomen.
3)
Faktor prodisposisi misalnya pada fraktur patologis.
h.
Pemeriksaan Diagnostik
Ada beberapa test diagnostik
yang dapat dilakuakn pada penderita fraktur menurut Marlynn E. Doengoes,et.al.2000.
hal : 761 adalah sebagai berikut:
a.
Pemeriksaan rontgen untuk menentukan lokasi atau luasnya fraktur atau
trauma.
b.
Scan tulang, tomography, scan CT atau MRI: untuk memperlihatkan fraktur
juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
c.
Arteriogram : dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.
d.
Hitung darah lengkap yaitu Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi), menurun
(pendarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multipel).
e.
Kreatinin : trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.
f.
Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi
multipel atau cedera hati.
2.
DIAGNOSA KEPERAWATAN
Adapun diagnosa keperawatan pada
klien dengan fraktur berdasarkan Marlynn E. Doengoes, et al. 2000. hal : 763
adalah sebagai berikut:
a. Resiko tinggi terhadap trauma berhubungan dengan kehilangan
integritas tulang (fraktur)
b.
Nyeri berhubungan dengan spasme otot, gerakan fragmen tulang dan cedera
pada jaringan lunak, alat traksi/imobilisasi, stress, ansietas.
c.
Resiko tinggi terhadap disfungsi neurovaskuler perifer berhubungan dengan
penurunan/interupsi aliran darah; cedera vaskuler langsung, edema berlebihan,
pembentukan trombus, hipovolemia.
d.
Resiko tinggi terhadap kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan
perubahan aliran darah/emboli lemak, perubahan membran alveolus/kapiler,
interstisial, edema paru, kongesti.
e.
Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka neuromuskuler
: nyeri atau ketidaknyamanan, terapi restriktif ( imobilisasi tungkai ).
f.
Resiko tinggi kerusakan integritas kulit / jaringan berhubungan dengan
cedera tusuk, faktur terbuka, bedah perbaikan pemasangan traksi, pen, kawat,
sekrup,
g.
Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan primer
; kerusakan kulit, trauma jaringan, terpajan pada lingkungan. Prosedur invasif,
traksi tulang.
h.
Kurang pengetahuan ( kebutuhan belajar ) tentang kondisi, prognosis dan
kebutuhan pengobatan berhubungan dengan
kurang terpajan/mengingat, salah interpretasi informasi/tidak mengenal sumber
informasi.
3.
PERENCANAAN KEPERAWATAN
Perencanaan asuhan keperawatan yang
dapat dilakukan menurut Marlynn E. Doengoes, et. Al. 2000. hal : 763 adalah
sebagai berikut:
a.
Diagnosa I
Resiko tinggi terhadap trauma
berhubungan dengan kehilangan integritas tulang (fraktur).
Tujuan :
Mempertahankan stabilitas
dan posisi terakhir.
Kriteria hasil :
Menunjukkan mekanika yang
meningkatkan stabilitas pada sisi fraktur. Menunjukkan pembentukan kalus/mulai
penyatuan fraktur dengan tepat.
Intevensi Mandiri :
1) Pertahankan tirah
baring/ekstrimitas sesuai indikasi. Berikan sokongan sendi di atas dan di bawah
fraktur bila bergerak atau membalik.
Rasional : meningkatkan
stabilitas, menurunkan kemungkinan gangguan posisi/penyembuhan.
2)
Letakkan papan dibawah tempat tidur atau tempatkan pasien pada tempat tidur
orthopedik
Rasional : tempat
tidur lembut atau lentur dapat membuat deformasi gips yang masih basah,
mematahkan gips yang sudah kering atau mempengaruhi dengan penarikan traksi.
Sokong fraktur dengan bantal atau gulungan selimut.
3)
Sokong fraktur dengan bantal/gulungan selimut, pertahankan proses netral
pada bagian yang sakit dengan bantal pasir, pembebat gulungan trokanter, papan kaki.
Rasional : mencegah
gerakan yang tidak perlu dan perubahan posisi. Posisi yang tepat dari bantal
juga dapat mencegah tekanan deformitas pada gips yang kering.
4)
Pertahankan posisi/integritas traksi (contoh Back, Donkap, Pearson Russel).
Rasional : traksi
memungkinkan tarikan pada aksis panjang fraktur tulang dan mengatasi tegangan
otot/pemendekan untuk memudahkan posisi/penyatuan. Traksi tulang (pen, kawat,
jepitan). Memungkinkan penggunaan berat lebih untuk penarikan traksi daripada
digunakan untuk jaringan kulit.
5)
Bantu meletakan beban di bawah roda tempat tidur bila diindikasikan.
Rasional : membantu posisi tepat pasien dan fungsi
traksi dengan memberikan keseimbangan timbal balik.
6)
Kolaborasi untuk kaji ulang foto evaluasi.
Rasional : memberikan
bukti visual mulanya pembentukan kalus / proses penyembuhan untuk menentukan
tingkat aktifitas dan kebutuhan perubahan/tambahan terapi.
7)
Kolaborasi untuk pemberian stimulasi listrik bila digunakan.
Rasional : .Mungkin
diindikasikan untuk meningkatkan pertumbuhan tulang pada keterlambatan
penyembuhan/tidak menyatu.
b.
Diagnosa II
Gangguan rasa nyaman nyeri
berhubungan dengan spasme otot gerakan fragmen tulang dan cidera pada jaringan
lunak. Alat traksi/mobilisasi, stress, ansietas.
Tujuan :
Menyatakan nyeri hilang atau
berkurang.
Kriteria hasil :
Klien menunjukkan sikap santai dan
menunjukkan keterampilan relaksasi dan aktivitas terapeutik.
Intervensi Mandiri :
1)
Kaji lokasi, area, waktu dan tipe nyeri.
Rasional : mengetahui perkembangan luka.
2)
Pertahankan imobilisasi bagian yang sakit dengan tirah baring, gips, pembebat
dan traksi.
Rasional : menghilangkan
nyeri dan mencegah kesalahan posisi tulang/tegangan jaringan yang cidera.
3) Tinggikan dan dukung
ekstremitas yang terkena.
Rasional : meningkatkan
aliran balik vena, menurunkan edema dan menurunkan nyeri.
4)
Tinggikan penutup tempat tidur pertahankan linen terbukan pada ibu jari.
Rasional : mempertahankan
kehangatan tubuh tanpa ketidaknyamanan karena tekanan selimut pada bagian yang
sakit.
5)
Lakukan dan awasi latihan rentang gerak pasif/aktif.
Rasional : mempertahankan
kekuatan/mobilitas otot yang sakit dan memudahkan resolusi inflamasi pada
jaringan yang cidera.
6)
Dorong menggunakan teknik manajemen stress, contoh relaksasi progresif, latihan nafas dalam,
imajinasi, visualisasi, sentuhan terapeutik.
Rasional : memfokuskan
kembali perhatian, meningkatkan rasa kontrol dan dapat meningkatkan kemampuan
koping dalam manajemen nyeri, yang mungkin menetap untuk periode lebih lama.
7)
Kolaborasi untuk pemberian obat sesuai indikasi narkotik dan analgetik non
narkotik.
Rasional : diberikan
untuk menurunkan nyeri dan spasme otot.
c.
Diagnosa III
Resiko tinggi terhadap disfungsi
neurovaskuler berhubungan dengan penurunan/interupsi aliran darah: cidera vaskuler
langsung, edema berlebihan, pembentukan trombus, hipovolemia.
Tujuan :
Mempertahankan perfusi
jaringan
Kriteria hasil :
Nadi teraba, kulit hangat/kering,
sensasi normal, pengisian kapiler kurang dari 3 detik.
Intervensi Mandiri :
1)
Kaji adanya/kualitas nadi perifer distal terhadap cidera melalui palpasi
bandingkan dengan ekstrimitas yang sakit.
Rasional : penurunan/tidak
ada nadi dapat menggambarkan cidera vaskuler dan perlunya evaluasi medik segera
terhadap status sirkulasi.
2)
Kaji aliran kapiler, warna kulit, dan kehangatan distal pada fraktur.
Rasional : kembalinya
warna harus cepat, sianosis diduga ada gangguan vena. Catatan : nadi perifer,
pengisian kapiler, warna kulit dan sensasi mungkin normal meskipun ada syndrom
kompartmen.
3)
Lakukan pengkajian neuromuskuler. Perhatikan perubahan fungsi
motorik/sensori. Minta pasien untuk melokalisasi nyeri/ketidaknyamanan.
Rasional : Gangguan
perasaan kebal, kesemutan, peningkatan/penyebaran nyeri terjadi bila sirkulasi
pada syaraf tidak adekuat atau saraf rusak.
4)
Pertahankan peninggian ekstremitas yang cidera kenali di kontra indikasikan
dengan meyakinkan adanya sindrom kompartemen.
Rasional : meningkatkan
drainase vena/menurunkan edema. Catatan : adanya peningkatan tekanan
kompartmen, peninggian ekstremitas secara nyata menghalang aliran arteri. Menurunkan perfusi.
5)
Dorong klien untuk secara rutin latihan jari/sendi distal cidera. Ambulasi
sesegera mungkin.
Rasional : meningkatkan
sirkulasi dan menurunkan pengumpulan darah khususnya pada ekstrimitas bawah.
6)
Awasi tanda vital, perhatikan tanda pucat/sianosis umum, kulit dingin,
perubahan mental.
Rasional : ketidakadekuatan
volume sirkulasi akan mempengaruhi sistem perfusi jaringan.
7)
Kolaborasi pemberian kompres sekitar fraktur sesuai indikasi.
Rasional : menurunkan
edema/pembentukan hematoma, yang dapat mengganggu sirkulasi.
8)
Kolaborasi pemeriksaan lab : awasi Hb/Ht, permeriksaan koagulasi contoh
kadar protrombin.
Rasional : membantu
dalam kalkulasi kehilangan darah dan membutuhkan kefektifan terapi pengganti.
d.
Diagnosa IV
Resiko tinggi terhadap kerusakan pertukaran
gas berhubungan dengan perubahan aliran darah / emboli lemak. Perubahan membran
alveolar/kapiler; interestial, edema paru, kongesti.
Tujuan :
Mempertahankan pernafasan
adekuat
Kriteria hasil :
Tidak adanya
dispnea/sianosis, frekuensi pernafasan dalam batas normal.
Intervensi Mandiri :
1)
Awasi frekuensi pernafasan dan upayanya. Perhatikan stridor, penggunaan
otot bantu, terjadinya sianosis sentral.
Rasional : takipnea,
dispnea dan perubahan dalam mental dan tanda dini insufisiensi pernafasan dan
mungkin hanya indikator terjadinya emboli paru pada tahap awal. Masih adanya
tanda atau gejala menunjukkan distress pernafasan luas cenderung kegagalan.
2)
Auskultasi bunyi panas perhatikan terjadinya ketidaksamaan, bunyi
hipersonan, juga adanya gemericik atau ronchi atau meni dan inspirasi mengorok
atau bunyi sesak nafas.
Rasional : perubahan
dalam atau adanya bunyi adventisus menunjukkan terjadinya komplikasi
pernafasan. Contoh : atelektasis, pnemunia, inspirasi mengorok menunjukkan
edema jalan nafas atas dan diduga emboli lemak.
3)
Atasi jaringan cidera/tulang dengan lembut khususnya selama beberapa hari
pertama.
Rasional : ini
dapat mencegah terjadinya emboli lemak (biasanya terlihat pada 12-72 jam
pertama)
4)
Instruksikan dan bantu dalam latihan nafas dalam dan batuk. Reposisi dengan sering.
Rasional : meningkatkan
ventilasi alveolar dan perfusi. Reposisi meningkatkan drainase sekret dan menurunkan
kongesti pada area paru dependen.
5)
Perhatikan peningkatan kegelisahan, tetargi stupor.
Rasional : gangguan
pertukaran gas/adanya emboli paru dapat menyebabkan penyimpangan pada tingkat
kesadaran pasien seperti terjadinya hipoksemia atau asidosis.
6)
Kolaborasi : berikan tambahan O2 bila diindikasikan
Rasional : meningkatkan
sediaan O2 untuk oksigen optimal jaringan
7)
Kolaborasi pemeriksaan laboratorium contoh seri BDA.
Rasional : Menurunya
PaO2 dan peningkatan PaCO2 menunjukkan gangguan
pertukaran gas atau terjadinya kegagalan.
8)
Kolaborasi pemeriksaan Hb, kalsium, LED dan kadar lipase. Gelembung lemak
dalam darah atau urin atau sputum dan penurunan jumlah trombosit
(trombositopenia) sering berhubungan dengan emboli lemak
e.
Diagnosa V
Gangguan mobilitas fisik berhubungan
dengan ketidakmampuan untuk bergerak sesuai tujuan dalam lingkungan fisik
dilakukan pembatasan menolak, menolak untuk bergerak; keterbatasan rentang
gerak, penurunan kekuatan/kontrol otot.
Tujuan :
Mempertahankan mobilitas
Kriteria hasil :
Mempertahankan posisi fungsional,
meningkatkan kekuatan/fungsi yang sakit dan mengkompensasi bagian tubuh
Intervensi Mandiri :
1)
Kaji derajat imobilitas yang dihasilkan oleh cidera/pengobatan dan
perhatikan persepsi klien terhadap immobilisasi.
Rasional : klien
mungkin dibatasi oleh pandangan diri/persepsi diri tentang keterbatasan fisik
aktual, memerlukan informasi/intervensi untuk meningkatkan kemajuan kesehatan.
2)
Ajarkan klien untuk latihan ROM aktif atau pasif pada ekstremitas yang
sakit dan yang tidak sakit.
Rasional : meningkatkan
aliran darah ke otot dan tulang untuk meningkatkan tonus otot, mempertahankan
gerak sendi: mencegah kontraktur/atrofi.
3)
Dorong penggunaan latihan isometrik mulai dari tungkai yang tidak sakit.
Rasional : kontraksi
otot isomerik tanpa menekuk sendi atau menggerakan tungkai dan membantu
mempertahankan kekuatan massa otot.
4)
Bantu/dorong perawatan diri/kebersihan, libatkan keluarga.
Rasional : meningkatkan
kekuatan otot dan sirkulasi, meningkatkan kontrol pasien dalam situasi dan
meningkatkan kesehatan diri langsung.
5)
Berikan/bantu dalam mobilisasi dengan kursi roda, kruk, tongkat sesegera
mungkin.
Rasional : mobilisasi
dini menurunkan komplikasi tirah baring dan meningkatkan penyembuhan dan
normalisasi fungsi organ.
6)
Awasi tekanan darah pada saat melakukan aktivitas.
Rasional : hipertensi
postural adalah masalah umum menyertai tirah baring lama dan dapat memerlukan
intervensi khusus.
f.
Diagnosa VI
Resiko kerusakan integritas kulit /
jaringan berhubungan dengan cidera tusuk, fraktur terbuka; bedah perbaikan;
pemasangan traksi, pen, kawat, skrup.
Tujuan :
Rasa nyaman dapat terpenuhi
Kriteria hasil :
Menunjukkan perilaku teknik mencegah
kerusakan kulit dan mencapai penyembuhan luka sesuai waktu.
Intervensi Mandiri :
1)
Kaji kulit untuk luka terbuka, benda asing, kemerahan, pendarahan, perubahan
warna.
Rasional : memberikan
informasi tentang sirkulasi kulit dan masalah yang mungkin disebabkan oleh alat
dan pemasangan gips.
2)
Massage kulit dan penonjolan tulang, pertahankan tempat tidur kering dan
bebas kerutan.
Rasional : menurunkan tekanan
pada area yang peka dan resiko abrasi/kerusakan kulit.
3)
Kaji posisi cincin bebat pada alat traksi.
Rasional : posisi
yang tidak dapat menyebabkan cidera kulit/kerusakan.
4)
Potong kelebihan plester dari akhir gips sesegera mungkin saat gips
lengkap.
Rasional : plester
yang lebih dapat mengiritasikan kulit dan dapat mengakibatkan abrasi kulit.
5)
Ganti alat tenun tiap hari.
Rasional : memberikan
rasa nyaman
6)
Kolaborasi : pembuatan gips dengan katup tunggal, katup ganda atau jendela
sesuai protocol.
Rasional : memungkinkan
pengurangan tekanan dan memberikan akses untuk perawatan luka/kulit.
g.
Diagnosa VII
Resiko tinggi terhadap infeksi
berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan primer : kerusakan kulit, trauma
jaringan, terpajan pada lingkungan. Prosedur invasif, traksi tulang.
Tujuan :
Infeksi tidak terjadi
Kriteria hasil :
Tidak terdapat tanda-tanda infeksi
(bengkak, demam, nyeri, kemerahan pada kulit). Mencapai penyembuhan luka sesuai
waktu, bebas drainase purulen atau eritema dan demam, tanda-tanda vital stabil.
Intervensi
1)
Kaji/observasi lokasi luka, perhatikan warna daerah luka. Bau ak enak, rasa terbakar.
Rasional : dapat
mengidentifikasikan timbulnya infeksi lokal/nekrosis jaringan yang dapat
menimbulkan osteomelitis.
2)
Lakukan perawatan luka/pemasangan alat kawat steril, gunakan teknik aseptik
dan anti septik atau kebersihan yang ketat sesuai indikasi.
Rasional : dapat
mencegah kontaminasi silang dan kemungkinan infeksi.
3)
Tingkatkan cuci tangan yang baik, instruksikan klien untuk tidak
menyentuh/menggaruk luka.
Rasional : meminimalkan
kesempatan untuk kontaminasi.
4)
Awasi tanda-tanda vital, perhatikan adanya peningkatan suhu.
Rasional : meskipun
umumnya suhu meningkat pada fase dini pasca operasi, peninggian terjadi 5 hari
atau lebih pasca operasi dan adanya menggigil biasanya mengindikasikan
terjadinya infeksi.
5)
Kolaborasi : pemeriksaan laboratorium, hitung darah lengkap terutama
leukosit.
Rasional : leukosit
biasanya ada dengan proses infeksi.
6)
Kolaborasi : pemberian obat sesuai indikasi, contoh : antibiotik
IV/topical.
Rasional : antibiotik
spectrum luas dapat digunakan secara profilaktif atau dapat ditujukan pada
mikroorganisme khusus.
h.
Diagnosa VIII
Kurang pengetahuan kebutuhan belajar
tentang kondisi, prognosisi dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang terpajan/mengingat,
salah interpretasi/tidak mengenal sumber informasi.
Tujuan :
Memahami prognosisi dan
pengobatan.
Kriteria hasil :
Melakukan dengan benar prosedur yang
diperlukan dan dapat menjelaskan alasan tindakan.
Intervensi Mandiri :
1)
Kaji ulang patologi, prognosis dan harapan yang akan datang.
Rasional : memberikan
dasar pengetahuan dimana pasien dapat membuat pilihan informasi.
2)
Beri penguatan metode mobilitas dan ambulasi sesuai instruksi dan terapis
fisik bila diindikasikan.
Rasional : banyak
fraktur memerlukan gips, bebat atau penjepit selama proses penyembuhan.
3)
Indikasikan tersedianya sumber pelayanan di masyarakat, contoh : tim
rehabilitasi pelayanan perawatan di rumah.
4)
Anjurkan pasien untuk melanjutkan latihan aktif untuk sendi di atas dan di
bawah fraktur.
Rasional : mencegah
kekakuan sendi, kontraktur dan kelelahan otot, meningkatkan kembalinya
aktivitas sehari-hari secara dini.
5)
Kaji ulang perawatan pen/luka yang tepat.
Rasional : menurunkan
resiko trauma tulang, jaringan dan infeksi yang dapat berlanjut menjadi osteomelitis.
4.
PELAKSANAAN KEPERAWATAN
a.
Pengertian
Pelaksanaan adalah tahap dimana
perawat melaksanakan asuhan keperawatan ( Kozier, 2000 )
b.
Tahap Pelaksanaan terdiri dari
1)
Keterampilan yang diperlukan pada penatalaksanaan adalah :
a)
Kognitif
Suatu keterampilan yang termasuk dalam kemampuan
memecahkan masalah, membuat keputusan, berpikir kritis dan pemikiran yang
kreatif.
b)
Interpersonal
Suatu yang diperlukan dalam setiap aktivitas perawat yang
meliputi keperawatan, konseling, pemberi support yang termasuk dalam kemampuan
interpersonal diantaranya adalah prilaku, penguasaan ilmu pengetahuan,
ketertarikan oleh penghargaan terhadap budaya klien, serta gaya hidup. Perawat
akan mempunyai skill yang tinggi dalam hubungan interpersonal jika mereka
mempunyai kesadaran dan sensitifitas terhadap yang lain.
c)
Technical
Suatu kemampuan yang tidak bisa dipisahkan dengan
interpersonal skill seperti memanipulasi alat, memberikan suntikan, pembiayaan,
evaluasi dan reposisi.
2)
Tindakan Keperawatan
a)
Menurut Kozier, 2000 tindakan keperawatan mandiri atau independent adalah
suatu tindakan perawat yang berorientasi pada tim kerja perawat dalam
melakukan, menentukan, merencanakan dan mengevaluasi tindakannya terhadap
klien.
b)
Menurut Kozier, 2000 tindakan keperawatan interdependen atau kolaborasi
adalah suatu tindakan yang bersifat kolaboratif tim kesehatan lainnya dalam
menentukan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi terhadap klien yang dirawat.
3)
Pendokumentasian Implementasi
Setelah dilakukan tindakan keperawatan,
perawat mencatat tindakan tersebut dan respon dari pasien dengan menggunakan
format khusus.
Pendokumentasian pada implementasi,
disesuaikan dengan tanggal dan waktu, tindakan, paraf, dan nama jelas.
(
Kozier, 2000 )
5.
EVALUASI KEPERAWATAN
a.
Pengertian Evaluasi
Pengertian evaluasi yaitu tahap
akhir dari proses keperawatan dan merupakan perbandingan hasil yang diamati
dengan kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan ( Kozier, 2000 ).
b.
Proses Evaluasi terbagi menjadi 2 bagian yaitu :
1)
Evaluasi Formatif
Terjadi secara periodik selama pemberian asuhan
keperawatan.
2)
Evaluasi Sumatif
Biasanya dilakukan pada saat pemindahan atau pemulangan
pasien, berfikir kritis dan penilaian kritis harus digunakan jika status pasien
tidak sesuai dengan rencana pemulangan.
c.
Penentuan keputusan yang mengacu pada tujuan terbagi menjadi 3 bagian yaitu
:
1)
Tujuan tercapai adalah jika respon klien mendukung terhadap pencapaian
hasil, secara verbal klien membenarkan dan mendukung kriteria hasil yang
dtetapkan, seluruh kriteria hasil yang telah ditentukan ada pada klien.
2)
Tujuan tercapai sebagian adalah sebagian dari kriteria hasil telah
tercapai, respon verbal yang terdapat pada klien mendukung tercapai sebagian
kriteria hasil yang telah ditentukan.
3)
Tujuan tidak tercapai adalah jika tidak ada dari sekian kriteria hasil yang
ditetapkan tercapai. Klien masih merasakan masalah yang sama saat pertama kali
didiagnosis masalah tersebut ditegakkan. Data-data penunjang dan pemeriksaan
diagnostik masih mendukung terhadap masalah yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
Apley, A. Graham, dan Solomon, Louis.1995.
Buku Ajar Orthopedi dan Fraktur Sistem
Apley. Edisi 7. Jakarta : EGC
Doengoes, Marlynn E, et. al. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. Jakarta:EGC.
Harnowo, dr. Sapto, et. al. 2002. Keperawatan Medikal Bedah untuk Akademi
Keperawatan. Jakarta : Widya Medika.
Hudak, C. M., dan Gallo, B. M. 1997.
Keperawatan Kritis : Pendekatan Holistik. Edisi 6. Volume 2. Jakarta
: EGC.
Kozier, B., dan Erb, G. 2000. Fundamental
of Nursing. The Natural of Nursing Practice. New Jersey In Canada : Prentice
Hall. Inc.
Muttaqin, S.Kep. Ns. Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan
Sistem Muskuloskeletal. Jakarta : EGC.
Potter, Patricia A., dan Perry,
Anne Griffin. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep Proses dan
Praktik. Edisi 4. Volume 1. Jakarta : EGC.
Price, Sylvia A, dan Wilson,
Lorraine M. 2006. Patofisiologi Konsep
Klinis Proses Penyakit. Edisi 6. Volume 2. Jakarta:EGC.
Rasjad, Ph.D, Prof. Chairuddin.1998.
Pengantar Ilmu Bedah Orthopedi. Ujung Pandang : Bintang
Lamun Patue.
Sjamsuhidajat, R., dan de Jong, Wim.
2005. Buku Ajar Ilmu Bedah.Edisi 2.
Jakarta : EGC.
Smiltzer, Suzanne C., dan Bare,
Brenda G. 2002. Buku Ajar Keperawatan
Medikal Bedah Brunner dan Suddarth. Edisi 8 Volume. 3. Jakarta : EGC.
Suratun, SKM. et. al. 2008. Seri Asuhan Keperawatan Klien Gangguan
Sistem Muskuloskeletal. Jakarta : EGC.
Tombayong, dr. Jan. 2002. Patofisiologi untuk Keperawatan. Jakarta
: EGC.
Anatomi Fisiologi Tulang Tibia dan Fibula
Tulang Tibia dan Fibula merupakan tulang pipa yang terbesar sesudah
tulang paha yang membentuk persendian lutut dengan tulang femur. Pada bagian
ujungnya terdapat tonjolan yang disebut Tulang Maleolus atau mata kaki luar.
Tulang tibia bentuknya lebih kecil, pada
bagian pangkal melekat pada tulang fibula, pada bagian ujung membentuk
persendian dengan tulang pangkal kaki dan terdapat taju yang disebut Tulang
Maleolus Medialis.
Pada Tulang Tibia dan Fibula terdapat
sendi tibia fibuler, dibentuk antara ujung atas dan ujung bawah kedua tulang
tungkai bawah, batang dari tulang – tulang itu digabungkan oleh sebuah ligamen
antara tulang yang membentuk sebuah sendi ketiga antara tulang – tulang itu.
0 komentar:
Posting Komentar